Menjadi Anak Muda Keren: Menjadi Satu dengan Alam dan Bermental Elastis seperti Karet
Oleh : Kristina Dewi
PEMUDA
Pemuda merupakan individu yang sedang mengalami perkembangan fisik dan emosional, menjadikannya sebagai sumber daya manusia penting dalam proses pembangunan, baik pada saat ini maupun di masa yang akan datang. Kita dianggap sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan peran generasi sebelumnya. Secara internasional, WHO merujuk pada pemuda sebagai “young people” dengan rentang usia 10-24 tahun, di mana kategori usia 10-19 tahun disebut “adolescence” atau remaja. International Youth Year pada tahun 1985 menetapkan kelompok pemuda sebagai individu berusia 15-24 tahun.
Definisi kedua menggambarkan pemuda sebagai individu dengan karakter dinamis, optimis, dan seringkali bergejolak, tetapi belum memiliki kendali emosi yang stabil. Pemuda menghadapi masa perubahan sosial dan budaya yang signifikan. Dalam konteks Bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal sebagai generasi muda atau kaum muda. Terminologi tersebut sering memiliki definisi yang bervariasi, di mana definisi teknis berfokus pada kategori usia, sementara definisi lainnya cenderung lebih fleksibel. Pemuda, generasi muda, atau kaum muda sering diartikan sebagai individu yang memiliki semangat pembaharu dan progresif.
SEMAKIN TERASING DAN APATIS
Dalam film, acara televisi, dan majalah, sering kali kita melihat gambaran bahwa kaum muda selalu dikelilingi oleh kelompok teman yang setia menemani mereka dari masa sekolah hingga dewasa. Meskipun begitu, realitas kehidupan remaja bagi sebagian besar tidak sesuai dengan citra tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Barbara Schneider dan David Stevenson, yang menganalisis wawancara dengan ribuan anak muda di Amerika Serikat, menemukan bahwa “relatif sedikit siswa yang secara konsisten memiliki sahabat karib yang sama atau sekelompok kecil sahabat seiring berjalannya waktu.” Sebagian besar remaja ternyata “tidak memiliki hubungan dekat dengan orang lain dan tidak memiliki banyak sahabat yang nyaman diajak berbicara tentang berbagai masalah atau berbagi ide,” demikian dikatakan oleh Schneider dan Stevenso. Meskipun beberapa remaja memiliki sahabat, tampaknya mereka tidak memiliki banyak waktu untuk menghabiskan bersama. Hasil penelitian besar di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kebanyakan remaja menghabiskan sekitar 10 persen dari waktu mereka untuk bertemu langsung dengan teman-teman, sementara hingga 20 persen dari waktu mereka dihabiskan sendirian—lebih banyak dibandingkan waktu yang dihabiskan bersama keluarga atau teman. Mereka makan sendirian, bepergian sendirian, dan mencari hiburan sendirian.
Tren isolasi ini semakin memburuk dengan meningkatnya penggunaan peralatan elektronik. Sebagai contoh, pada tahun 2020-2023an, majalah Time melaporkan bahwa anak-anak muda di seluruh dunia, dalam rentang usia 8 hingga 20 tahun, rata-rata menggunakan 8 sampai 12 jam sehari dengan mata terpaku pada smartphone, TV, telinga ditempati earphone, atau tangan sibuk dengan papan ketik komputer. Meskipun tidak baru bagi sebuah generasi menghabiskan waktu lama untuk memandangi layar smartphone, menikmati musik atau bermain game, jumlah waktu yang sekarang digunakan bersama peralatan elektronik bisa merusak interaksi sosial.
Penelitian Schneider dan Stevenson menunjukkan bahwa “anak muda melaporkan memiliki empati yang lebih rendah, merasa lebih tidak bahagia, kurang menikmati aktivitas yang mereka lakukan, dan merasa kurang aktif ketika berada sendirian bahkan di tahun 2023 kemarin begitu banyak kasus bunuh diri dan kasus depresi meningkat.” Hal ini terjadi karena kepedulian dan rasa cinta terhadap diri sendiri menurun, semangat menurun, mental melemah, dengan kata lain tidak akan ada motivasi untuk meningkatkan kapasitas diri dan menyongsong mimpi di masa depan baik bagi diri sendiri apalagi bagi kondisi lingkungan sekitar serta bangsa dan negara.
Kondisi buruk lainnya yang terjadi yaitu kebanyakan anak muda sibuk dengan kesenangannya sendiri dan terkesan apatis dengan kondisi sosial dan lingkungan di sekitar. Dikarenakan semangat dan mental yang menurun, dengan waktu yang bersamaan menurunkan kepekaan dan kepedulian terhadap kondisi sosial dan lingkungan di sekitar. Apabila hal ini berkepanjangan, maka kondisi keberlangsungan lingkungan serta bangsa dan negara bahkan dunia dipertaruhkan.
KONDISI BUMI MAKIN PANAS DAN GERAH, MANUSIA TERANCAM PUNAH
Kondisi lingkungan di Indonesia dan dunia kini tengah berada dalam situasi yang kritis ditandai dengan cuaca panas yang ekstrim, pencemaran lingkungan oleh sampah plastik, polusi udara dan perubahan iklim yang ekstrim. Hal ini disebabkan oleh global warming yang timbul dari gaya hidup intoleran manusia terhadap lingkungan seperti penggunaan textile, penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan, penebangan pohon dan pembukaan lahan hujan tropis untuk pemukiman, dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Perubahan iklim mengancam kehidupan ratusan juta orang, seperti menyebabkan kelangkaan makanan dan air yang berpotensi memicu punahnya manusia dan konflik global, berdasarkan temuan penelitain.
Manusia meningkatkan jumlah gas rumah kaca, seperti karbon dioksida dan metana, di atmosfer melalui pembakaran bahan bakar fosil dan aktivitas lainnya. Gas-gas ini menjebak dan menahan panas dari matahari, menyebabkan suhu global meningkat dan iklim berubah jauh lebih cepat daripada yang seharusnya.
Efek rumah kaca yang tak terkendali mungkin adalah satu-satunya cara dampak perubahan iklim dapat secara langsung menyebabkan kepunahan manusia, menurut Luke Kemp, seorang rekan peneliti di Pusat Studi Risiko Eksistensial di Universitas Cambridge di Inggris.
Dampak perubahan iklim di bumi termasuk suhu yang makin panas, badai yang lebih kuat, banjir yang semakin intensif, dan musim kebakaran yang lebih lama dan lebih parah. Para ilmuwan memperingatkan bahwa mengabaikan perubahan iklim akan menghasilkan “penderitaan yang tak terhitung” bagi umat manusia.
MELIHAT DARI SUDUT PANDANG YANG BERBEDA
Berangkat dari masalah di atas, maka GenBI Komisariat Universitas Galuh Ciamis hadir mengambil peran sesuai dengan fungsi GenBI yaitu memberi motivasi terhadap generasi muda dan agent of change, melalui acara Talkshow Ciamis Leadership Participation (CLP) Chapter II yang dilaksanakan pada tanggal 30 November 2023 yang mengusung tema “Youth Action For Resilience”. Menghadirkan pembicara yang kompeten di bidangnya berdasarkan 2 aspek masalah utama di atas yaitu Sadam Permana yang memaparkan tentang pentingnya peran generasi muda bagi kelangsungan kelestarian lingkungan dan nasionalisme serta Endra Nawawi seorang psikolog yang memaparkan mengenai tips and trick menjadi anak muda yang berkarakter serta meningkatkan kecerdasan dalam mengelola mental yang stabil dan tahan dalam mengahdapi berbagai rintangan. Diikuti oleh sekitar 400 peserta dari seluruh Indonesia.
Harapan dari terselenggaranya acara ini yaitu dapat mengajak generasi muda untuk berpikir dari sudut pandang yang berbeda. Melihat suatu permasalahan sebagai suatu challenge yang biasa terjadi dan meyakini bahwa setiap permasalahan selalu datang didampingi dengan solusi. Mengingat kembali bahwa kita yang terlahir kedunia merupakan seorang pemenang dan ditakdirkan untuk berakhir sebagai pemenang pula. Anak muda mesti memiliki mental seperti karet bersifat elastis, walau ditarik seberapa kuat pun akan tetap kembali seperti semula. Dibarengi dengan semangat juang tinggi menyongsong masa depan baik mimpi pribadi maupun andil mempunyai peran bagi lingkungan sekitar, banga dan negara serta dunia. Dengan begitu kita memiliki ruang dan waktu untuk memikirkan dan memperhatikan hal yang lain yaitu kelestarian alam sekitar demi kelangsungan hidup kita kedepannya. Merasa memiliki terhadap alam sekitar, sejatinya kita adalah satu dengan alam. Kelangsungan hidup kita tergantung pada kondisi kelestarian alam sekitar, begitupun kelestarian alam sekitar bergantung pada sikap dan lakunya terhadap alam.