Taryana, Kristina Dewi dan Yulia Muliawati
ABSTRACT
Land degradation and drought are significant environmental problems in Indonesia. Land degradation and drought are two environmental issues that are interrelated and have serious impacts on ecosystems and human life. These two phenomena have a complex relationship, because land degradation can trigger drought and drought can worsen land degradation. This scientific article aims to explore a deeper understanding of the relationship between land degradation and drought, as well as to explain the impacts it causes. Apart from that, this paper will also discuss various management efforts that can be carried out to reduce land degradation and mitigate drought. This research uses secondary data analysis methods from trusted sources and reviews of relevant literature.
Keywords : Land Degradation and Drought
ABSTRAK
Degradasi lahan dan kekeringan adalah problematika lingkungan yang signifikan di Indonesia. Degradasi lahan dan kekeringan merupakan dua isu lingkungan yang saling terkait dan memiliki dampak serius terhadap ekosistem dan kehidupan manusia. Kedua fenomena ini memiliki hubungan yang kompleks, sebab degradasi lahan dapat memicu kekeringan dan kekeringan dapat memperburuk degradasi lahan. Tulisan ilmiah ini bertujuan untuk menggali pemahaman lebih dalam tentang keterkaitan antara degradasi lahan dan kekeringan, serta untuk menjelaskan dampak-dampak yang ditimbulkannya. Selain itu, karya tulis ini juga akan membahas berbagai upaya pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengurangi degradasi lahan dan mitigasi kekeringan. Penelitian ini menggunakan metode analisis data sekunder dari sumber-sumber terpercaya dan tinjauan literatur yang relevan.
Kata Kunci : Degradasi Lahan dan Kekeringan
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terletak di Asia Tenggara. Secara astronomis, Indonesia terletak di di 6oLU (Lintang Utara) – 11 o LS (Lintang Selatan) dan 95o BT (Bujur Timur) – 141o BT (Bujur Timur) sehingga beriklim tropis dan mengalami pola musim hujan dan musim kemarau yang menyebabkan Indonesia mengalami iklim tropis sepanjang tahun. Indonesia juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino dan La Nina, yang merupakan fluktuasi suhu permukaan laut di Samudra Pasifik. El Nino terjadi ketika suhu permukaan laut di sekitar khatulistiwa menjadi lebih tinggi dari biasanya, sementara La Nina terjadi ketika suhu permukaan laut menjadi lebih rendah dari biasanya. Kedua fenomena ini dapat mempengaruhi pola curah hujan di Indonesia, menyebabkan kekeringan atau banjir yang parah.
Beberapa wilayah di Indonesia terutama daerah yang rentan terhadap perubahan iklim dan kekurangan air dapat menyebabkan bencana terjadinya kekeringan. Seperti yang sering terjadi di beberapa daerah Pulau Jawa terutama bagian tengah dan timur, sering mengalami kekeringan yang parah. Faktor dari kejadian tersebut seperti pola curah hujan yang tidak menentu yang disebabkan oleh El Nino, deforestasi, dan eksploitasi air tanah yang berlebihan memperburuk kondisi kekeringan di wilayah ini.
Menurut penelitian BMKG yang disampaikan oleh Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Supari (2023) mengatakan bahwa El Nino diperkirakan terjadi mulai pertengahan tahun 2023 kemarin. Dengan meningkatnya peluang El Nino juga disampaikan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dalam laporan Keadaan Iklim Global terbaru yang dikeluarkan pada Rabu (3/5/2023). Menurut WMO, fenomena La Nina yang telah berlangsung selama tiga tahun terakhir dipastikan telah berakhir dan Samudra Pasifik tropis saat ini berada dalam keadaan ENSO-netral.
Fenomena El Nino yang terjadi sangat berpengaruh terhadap lahan. Dengan terjadinya bencana kekeringan yang disebabkan oleh El Nino dapat terjadi juga degradasi lahan. Degredasi lahan merupakan masalah yang serius dan komples apabila munculnya bencana kekeringan. Hal ini disebabkan karena degradasi lahan merupakan penurunan produktivitas lahan yang sifatnya sementara maupun tetap, mempunyai ciri dari lahan tersebut yaitu penurunan sifat fisik, kimia dan biologi.
Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui fenomena iklim di Indonesia;
- Untuk mengetahui kondisi kekeringan yang ada di Indonesia;
- Untuk mengetahui degradasi lahan yang ada di Indonesia.
Metode
- Sumber data
Sumber data yang didapatkan yaitu dari data sekunder melalui sumber data dari Lembaga pemerintah yang terkait dan survei penelitian terdahulu.
- Metode analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penulisan ini yaitu dengan melakukan metode anallisis sekunder. Metode ini digunakan karena melibatkan penggunaan data sekunder yang telah dikumpulkan oleh orang lain untuk tujuan lain. Analisis sekunder dapat melibatkan pengolahan ulang data, penggabungan data dari beberapa sumber, atau penggalian wawasan baru dari data yang ada.
Pembahasan
Degradasi Lahan di Indonesia
Degradasi lahan di Indonesia merupakan masalah yang serius dan kompleks. Indonesia menghadapi berbagai faktor yang menyebabkan degradasi lahan, termasuk deforestasi, eksploitasi hutan secara ilegal, perambahan lahan, konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, penggundulan hutan, dan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan.
Pembangunan pertanian di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir telah meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, namun di beberapa daerah telah berdampak terhadap perubahan atau penurunan kualitas sumber daya lahan yang disebut degradasi lahan. Degradasi lahan merupakan suatu proses penurunan produktivitas lahan yang sifatnya sementara maupun tetap dan dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi (FAO 1994; Kurnia 2001; Kusmaryono 2000). Kecenderungan penurunan sumber daya lahan (degradasi) akan semakin meningkat. Luas lahan yang mengalami degradasi lahan di Indonesia selalu bertambah luas, jika pada tahun 1968 dilaporkan luas lahan terdegradasi di Indonesia 20 juta ha, pada tahun sembilan puluhan sekitar 40 juta ha dan pada tahun 2008 mencapai 77,8 ha (Dirjen Pengelolaan DAS dan Perhutan Sosial, Kementerian Kehutanan 2011). Di wilayah yang ditanami berbagai budidaya pertanian, lahan terdegradasi dan menjadi kritis lahan yaitu terjadinya kerusakan, lahan tandus dan lahan gundul terjadi pada tahun 1993 seluas 18 juta ha (Puslitbangtanak 2004), dan pada tahun 2003 degradasi lahan telah mencapai 23,2 juta ha (Baja 2005).
Berdasarkan angka-angka tersebut, di kawasan budidaya pertanian telah terjadi peningkatan kerusakan lahan-lahan kritis selama kurun waktu 10 tahun sebesar 5,2 juta ha. Usaha penanggulangan dan pemulihan lahan terdegradasi belum sepenuhnya berhasil (Kurnia 2007; Utomo 2012). Lahan yang terdegradasi bukan saja merupakan lahan yang tidak produktif, tetapi juga dapat menjadi sumber bencana, mulai dari kekeringan, banjir, tanah longsor, sampai kebakaran yang bisa berdampak terhadap terjadinya percepatan pemanasan global. Dampak negatif adanya lahan terdegradasi tidak hanya dirasakan di lokasi di mana lahan terdegradasi berada, tetapi menyebar sangat jauh dan luas. Seperti yang telah terjadi, dampak degradasi lahan di kawasan Puncak-Bogor, banjirnya sampai Jakarta, dan efek pemanasan global dirasakan sampai di Benua Eropa (WWF 2008; Arsyad 2010; Utomo 2012).
Dengan semakin meluasnya lahan terdegradasi, baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, di lahan kering maupun di lahan basah/lahan rawa akan berakibat terhadap semakin parahnya kerusakan lingkungan, yang mendorong terjadinya bencana alam yang intensitasnya semakin tinggi.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi degradasi lahan tersebut, termasuk melalui program restorasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, penegakan hukum terhadap praktik ilegal dan pengembangan pertanian berkelanjutan. Namun, tantangan yang kompleks dan skala masalahnya membuat penanganan degradasi lahan tetap menjadi pekerjaan yang berkelanjutan dan memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Definisi dan tipe degradasi lahan
Sektor pertanian mendefinisikan degradasi lahan sebagai proses penurunan produktivitas lahan yang sifatnya sementara maupun tetap, dicirikan dengan penurunan sifat fisik, kimia dan biologi (Shresta, 1995; Singer, 2006; Sitorus, 2011). Akibat dari terjadinya degradasi lahan yaitu menjadi munculnya areal-areal yang tidak produktif yang disebut lahan kritis (Dariah et al. 2004; Kurnia 2010). Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan, Departemen Pertanian (1993) mendefinisikan lahan kritis yaitu kondisi lahan yang terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sesuai sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan secara fisik, kimia maupun biologis.
Di Indonesia, tipe degradasi lahan yang sering terjadi yaitu deforestasi, erosi tanah, penurunan kualitas tanah, konversi lahan hutan menjadi pertanian atau perkebunan, kekosongan lahan dan pencemaran tanah.
Menurut PP No. 150/2000 tersebut, lahan rawa telah mengalami kerusakan/terdegradasi bila telah didrainase sehingga tinggi muka air tanah (dikukur dari permukaan tanah) di musim hujan >25 cm dan dimusim kemarau >80 cm. Pada lahan rawa gambut, lahan tersebut telah rusak/terdegradasi bila telah terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden) rata-rata 35 cm per 5 tahun pada lahan gambut berketebalan >3m, atau telah terjadi penurunan 10% dari ketebalan gambut bila tebal gambutnya 3 juta ha), seperti yang terjadi di Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau, dan Sumatera Utara. Adapun wilayah provinsi yang mempunyai lahan terdegradasi berat dengan luasan >1 juta ha bila diurutkan mulai dari yang paling luas adalah: Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Jambi, Aceh, Lampung, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Lebih lanjut bila ditelusuri kondisi existing penutupan dan status lahannya menunjukkan bahwa lahan terdegradasi berat dan telah menjadi lahan sangat kritis tersebut sebagian besar penutupan lahannya berupa semak belukar dan sebagian kecil berupa padang rumput dan gundul/lahan terbuka. Hampir 8 juta ha lahan terdegradasi berada di kawasan Area Penggunaan Lain (APL), 15 juta ha berada dikawasan hutan lindung dan lainnya berada di kawasan hutan produksi, hutan produksi konversi dan hutan suaka margasatwa.
Dampak degradasi lahan di Indonesia
Dampak degradasi lahan di Indonesia sangat beragam dan meluas. beberapa dampak utama yang sering terjadi yaitu penurunan produktivitas pertanian, kerugian ekosistem dan keanekaragaman hayati, erosi tanah dan banjir, peningkatan risiko kekeringan, peningkatan pencemaran tanah dan air dan pengurangan pendapatan masyarakat.
Penyebab utama degradasi lahan di Indonesia
Penyebab Degradasi Lahan menurut Borrow (1991) menentukan tingkat degradasi lahan didasarkan pada prinsip: lingkungan, ekonomi, sosial dan legal. Degradasi lahan disebabkan oleh tiga (3) aspek, yaitu aspek fisik, kimia dan biologi. Faktor penyebab degradasi lahan antara lain : perubahan jumlah populasi manusia, marjinalisasi tanah, kemiskinan, bencana alam (banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, letusan gunung merapi, dan lainnya), ketidak stabilan politik dan masalah administrasi, kondisi sosial ekonomi, praktek pertanian yang tidak tepat, serta aktivitas pertambangan dan industri. Pada dasarnya degradasi lahan disebabkan karena adanya penggunaan dan/atau pengelolaan lahan yang kurang tepat. Degradasi lahan biasanya terjadi dimulai dengan adanya alih fungsi penggunaan lahan, dari lahan hutan untuk keperluan lain. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, sampai tahun 2003 terjadi alih fungsi lahan hutan sebesar 1,6 juta ha per tahun. Pada lahan pertanian (khususnya pertanian di lahan kering), degradasi lahan utamanya terjadi karena adanya erosi tanah yang dipercepat, penggunaan mesin pertanian dan pemakaian bahan kimia pertanian yang berlebihan.
Kekeringan di Indonesia
Kekeringan adalah masalah serius di beberapa wilayah di Indonesia. Kondisi ini terjadi ketika pasokan air tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan manusia, pertanian, dan kegiatan lainnya. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kekeringan di Indonesia termasuk musim kemarau yang panjang, perubahan iklim, deforestasi, dan pola penggunaan air yang tidak efisien.
Beberapa daerah di Indonesia yang sering mengalami kekeringan adalah wilayah timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, dan Papua. Namun, kekeringan juga dapat terjadi di wilayah lainnya tergantung pada faktor-faktor cuaca dan lingkungan setempat.
Dari semua sektor, pertanian adalah sektor yang paling terdampak dalam bencana kekeringan, hal ini karena terjadinya hubungan yang signifikan cuaca/iklim dan tanaman. Kondisi defisit curah hujan dalam periode yang singkat mendorong manusia untuk menemukan tanaman pangan alternatif yang lebih toleran terhadap kekeringan. Bahkan kekeringan yang berlangsung lama dan parah telah menyebabkan manusia bepindah ke daerah lain (WMO 2006).
Menurut Hansen et al. (2006), intensitas dan frekuensi kejadian iklim ekstrim akibat suhu udara global yang terus meningkat. Hal yang sama dinyatakan dalam laporan Assessment Report 5 (IPCC 2013) yang menyimpulkan bahwa meningkatnya intensitas, frekuensi dan durasi dan kejadian kekeringan (likely) pada masa yang akan datang. Data historis menunjukkan bahwa frekuensi kejadian kekeringan antara tahun 1844 dan 1960 terjadi setiap 3-4 tahun, dan antara tahun 1961 dan 2006 meningkat menjadi setiap 2-3 tahun (Boer dan Subbiah 2005; Boer et al. 2007). Lebih dari 75% kekeringan tersebut berasosiasi dengan El Nino (Boer dan Subbiah 2005). Menurut Aldrian dan Djamil (2008) di DAS Brantas terutama di daerah yang dekat pantai, selama 50 puluh tahun terakhir lama bulan ekstrim kering meningkat menjadi 4 bulan bahkan pada tahun 2002 jumlah bulan kering mencapai 8 bulan. Pada wilayah pegunungan, lama bulan kering hanya 1-2 bulan dan maksimum hanya 4 bulan.
Berdasarkan data bersumber dari BMKG pengamatan suhu muka laut di Samudra Pasifik, disimpulkan bahwa La Nina telah berakhir pada Februari 2023. Sepanjang periode Maret-April 2023, ENSO berada pada fase Netral, yang mengindikasikan tidak adanya gangguan iklim dari Samudra Pasifik. Dengan peluang >70%, ENSO Netral diprediksi mulai beralih menuju fase El Nino pada periode Juni 2023 dan berlangsung dengan intensitas lemah hingga moderat. Sementara itu gangguan iklim dari Samudra Hindia, yaitu IOD, saat ini juga berada pada fase Netral dan diprediksi berpeluang akan beralih menuju fase IOD Positif mulai Juni hingga Oktober 2023.
Hingga akhir April 2023, perbincangan publik dan media masa banyak yang menyoroti tentang kejadian gelombang panas di Asia dikaitkan dengan suhu panas musim kemarau di Indonesia dan ancaman fenomena iklim El Nino. Hasil pemantauan BMKG terhadap 699 Zona Musim (ZOM) di wilayah Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 9% (65 ZOM) telah memasuki periode musim kemarau dan 75% wilayah ZOM lainnya (521 ZOM) masih mengalami musim hujan. Wilayah yang sedang mengalami musim kemarau diantaranya wilayah Aceh bagian timur, Sumatera Utara bagian timur, Riau bagian selatan, sebagian kecil Nusa Tenggara, Gorontalo bagian selatan, Sulawesi Tengah bagian timur, Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara bagian selatan, sebagian Kepulauan Maluku, dan sebagian Maluku Utara. Diperkirakan, 22% wilayah lainnya akan memasuki musim kemarau pada bulan Mei, dan 22% berikutnya pada bulan Juni. Sementara itu, sejumlah 16% (113 ZOM) lainnya merupakan wilayah yang mengalami musim hujan atau musim kemarau sepanjang tahun (bertipe satu musim). Pada masa transisi musim, pada wilayah-wilayah yang sudah maupun yang belum memasuki musim kemarau masih dimungkinkan mendapatkan hujan-hujan dalam skala harian hingga mingguan yang dipengaruhi oleh aktifnya variabilitas iklim sub-musiman berupa penjalaran gelombang tropis ekuatorial seperti MJO, Rossby dan Kelvin yang memiliki siklus perulangan 30-90 hari, selain faktor lokal berupa suhu permukaan laut sekitar yang masih hangat dan ketersediaan uap air di atmosfer.
Kondisi cuaca di Indonesia juga pada periode bulan Juni hingga Oktober 2023 umumnya bersifat normal hingga bawah normal dari rata -ratanya. Sehingga di prediksi akan terjadi hujan bawah normal untuk sebagian wilayah.
Menyikapi hal tersebut maka peluang El Nino pada tahun 2023 telah kita rasakan dan berlanjut hingga tahun 2024 ini. Beberapa langkah aksi dan antisipasi dini untuk mengurangi dampak kekeringanyang disebabkan oleh El Nino pada tahun 2023 lalu tidak terlalu memberikan dampak yang begitu signifikan, hal ini masih di rasakan hingga tahun 2024 kini.
Definisi dan tipe kekeringan
Menurut Linsely et al. (1959) Kekeringan merupakan suatu periode tanpa jumlah curah hujan yang signfikan. Palmer (1965) menggambarkan kekeringan sebagai kondisi penyimpangan dari kodisi normal hidrologis suatu wilayah. WMO (1986) mendefinisikan kekeringan merupakan sebagai defisit curah hujan yang berkepanjangan. Menurut The UN Convention to Combat Drought and Desertification (UN Secretariat General 1994) kekeringan adalah fenomena kejadian alam yang terjadi karena kondisi curah hujan di bawah normal yang menyebabkan ketidak seimbangan hidrologi yang serius sehingga mempengaruhi sistim produksi sumberdaya lahan. Schneider (1996) mendefinisikan kekeringan sebagai sebuah periode panjang (satu musim, satu tahun atau beberapa tahun) dimana terjadi defisit curah hujan di suatu wilayah dibandingkan rata-rata tahunannya.
Selain itu, definisi kekeringan terdapat dalam UU No 24 Tahun 2007 tentanng Penanggulangan Bencana. Menurut UU tersebut kekeringan merupakan salah satu bencana alam yang disebabkan ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan, baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lingkungan. Selanjutnya dinyatakan kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lain – lain) yang sedang dibudidayakan.
Dengan beragamnya definisi, kekeringan umumnya mempunyai 4 tipe yang didefinisikan oleh Wilhite dan Glantz (1985) dan American Meteorological Society (2004) yaitu kekeringan meteorologis, hidrologis, pertanian dan sosial ekonomis. Kekeringan meteorologis adalah kekurangan curah hujan di suatu wilayah pada periode tertentu. Kekeringan hidrologis adalah suatu periode dengan ketidakcukupan sumberdaya air permukaan dan bawah permukaan untuk memenuhi ketersediaan air dalam suatu sistem pengelolaan sumberdaya air. Kekeringan hidrologis terjadi akibat kekeringan meteorologis yang panjang yang menyebabkan defisit air permukaan dan air tanah di suatu wilayah. Kekeringan pertanian adalah suatu periode dimana terjadi penurunan kelembaban tanah yang menyebabkan kegagalan tanaman tanpa memperhitungkan sumberdaya air permukaan. Kekeringan sosial ekonomis terjadi jika permintaan terhadap barang barang bernilai ekonomi melebihi ketersediaannya akibat kekurangan suplai air karena kondisi cuaca/iklim.
Dampak kekeringan di Indonesia
Dengan terjadinya bencana kekeringan, tentu saja akan mengakibatkan dampak bagi lingkungan itu sendiri. Dampaknya akan terasa ketika lahan-lahan produktif seperti pertanian tiba-tiba mengalami kegagalan panen maupun penurunan kualitas. Akibat yang lebih ekstrim lagi adalah rusaknya sistem tanah yang berujung tidak termanfaatkannya tata guna lahan yang optimal, kelaparan, dan rusaknya sistem sektor pertanian masyarakat akibat kurangnya pasokan sumber air dan irigasi (Redaksi, 2022).
Dampak yang sering terjadi di Indonesia dalam bencana kekeringan yaitu krisisnya sumber air terutama air bersih untuk menunjang kebutuhan sehari – hari, menurunnya tingkat penghasilan ekonomi yang menyebabkan semua aspek dari ekonomi pertanian, peternakan dan sector ekonomi lainnya. Selain itu, hal yang sangat kritis yaitu terjadinya kerusakan lingkungan seperti rusaknya hutan, sungai, lahan pertanian yang mengakibatkan kematian tanaman dan hewan serta mengurangi kenekaragaman hayati.
Faktor penyebab kekeringan di Indonesia
Kekeringan tidak dapat dielakkan dan secara perlahan berlangsung lama hingga musim hujan tiba. Berdasarkan penyebabnya, bencana kekeringan termasuk kedalam kategori bencana yang disebabkan oleh alam. Karakteristik bencana kekeringan cukup berbeda dari bencana yang lain, karena datangnya yang tidak tiba-tiba namun timbul secara perlahan dan mudah diabaikan. Kekeringan juga terjadi karena efek dari El Nino (kondisi terjadinya peningkatan suhu muka laut di ekuator Pasifik Tengah dan Timur dari nilai rata-ratanya. El Nino ditandai dengan adanya anomali suhu muka laut di ekuator Pasifik Tengah (Nino 3.4) bernilai positif (lebih panas dari rata-ratanya) (Redaksi, 2022).
El Nino merupakan fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 2-7 tahun dan bertahan hingga 12-15 bulan. Ciri-ciri terjadi El Nino adalah meningkatnya suhu muka laut di kawasan Pasifik secara berkala dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Taufiq & Marnita, 2011). Fenomena el-nino berpengaruh kuat terhadap iklim di Indonesia. Berkurangnya curah hujan dan terjadinya kemarau panjang adalah dampak langsung yang bisa memicu masalah lain pada sektor pertanian seperti gagal panen dan melemahnya ketahanan pangan.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekeringan selain efek dari El Nino di Indonesia yaitu terjadinya musim kemarau panjang, pola curah hujan yang tidak merata, perubahan iklim global dengan adanya peningkatan suhu global serta perubahan pola angin dapat mengubah pola curah hujan dan terjadi kekeringan di beberapa wilayah, deforestasi dan kerusakan ekosistem maksunya yaitu penebangan hutan yang tidak terkendali dan merusak ekosistem sehingga menyebabkan bencana kekeringan, pertumbuhan penduduk dan urbanisasi serta penurunan kualitas air dan tanah.
Hubungan antara Degradasi Lahan dan Kekeringan di Indonesia
Degradasi lahan memiliki hubungan yang erat dengan kekeringan di Indonesia. Hal ini terjadi karena degradasi lahan merupakan kondisi lahan yang terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sesuai sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan secara fisik, kimia maupun biologis sangat erat hubungannya dengan kekeringan karena dengan terjadinya degradasi lahan berawal dari terjadinya kekeringan yang mengakibatlkan curah hujan rendah sehingga dapat mengakibatkan degradasi lahan dengan ciri fisik bahwa degradasi lahan tersebut akibat penggunaan lahan yang tidak sesuai karena kurangnya sumber air sehingga memicu terjadinya penurunan kualitas tanah.
Degradasi lahan dan kekeringan sangat berhubungan. Keduanya memiliki dampak yang sama – sama negatif dan hampir sama. Degredasi lahan juga mendapatkan dampak yang serius terhadap kekeringan. begitupun sebaliknya, kekeringan juga sangat berdmpak terhadap degradasi lahan.
Dampak terjadi degredasi lahan terhadap kekeringan yaitu terjadinya penuruunan ketersediaan air, penurunan produktifitas pertanian, meningkatnya erosi tanah, Meningkatnya resiko bencana banjir dan kekeringan dan penurunan kualitas air.
Untuk mengatasi dampak degradasi lahan terhadap kekeringan, langkah-langkah konservasi tanah yang melibatkan penghijauan, pengendalian erosi, rehabilitasi lahan, dan praktik pertanian berkelanjutan perlu diterapkan. Upaya ini dapat membantu memulihkan kualitas tanah, meningkatkan penyimpanan air, dan mengurangi risiko kekeringan.
Dampak yang terjadi pada bencana kekeringan terhadap degradasi lahan yaitu terjadinya tekstur tanah menjadi kering dan pecah – pecah, meningkatnya erosi tanah, kehilangan vegetasi dan penurunan keanekaragaman hayati, peningkatan kejadian hutan dan lahan kebakaran, penurunan produktivitas pertanian dan penurunan kualitas air.
Dampak dari keduanya menunjukkan bahwa pentingnya upaya mitigasi kekeringan dan pengelolaan air yang baik untuk mencegah degradasi lahan dan menjaga keberlanjutan lingkungan dan mencegah kekeringan. Kebijakan pengelolaan air yang efisien, praktik konservasi lahan, dan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim dapat membantu mengurangi dampak kekeringan pada degradasi lahan.
Strategi Pengelolaan Degradasi Lahan dan Kekeringan
Untuk melakukan pengelolaan degradasi lahan dan mengurangi dampak kekeringan perlu adanya strategi pengolaan yang holistik dan berkelanjutan. Beberapa strategi dan mitigasi yang dapat diterapkan yaitu dengan melakukan :
- Konservasi Tanah dan Air: dengan melakukan praktik-praktik konservasi tanah yang efektif seperti penghijauan, pengendalian erosi, penanaman pagar hidup, pengelolaan tutupan vegetasi, dan pembentukan teras atau alur kontur. Upaya ini akan membantu menjaga kesuburan tanah, meningkatkan infiltrasi air, dan mengurangi erosi tanah yang memperburuk kekeringan.
- Pengelolaan Air yang Efisien: Mengadopsi praktik pengelolaan air yang efisien di sektor pertanian, industri, dan domestik. Hal ini termasuk penggunaan teknologi irigasi yang efisien, pengumpulan dan penyimpanan air hujan, pengaturan tata air yang baik, dan penggunaan air secara bijaksana. Memastikan penggunaan air yang efisien dapat mengurangi permintaan air, meningkatkan ketersediaan air, dan mengurangi tekanan pada sumber daya air.
- Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan: Melakukan reboisasi dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi. Penanaman kembali vegetasi akan membantu memulihkan tutupan vegetasi, meningkatkan infiltrasi air, mengurangi erosi, dan meningkatkan ketersediaan air. Upaya ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan pohon-pohon yang tahan kekeringan, tanaman penutup tanah, atau sistem agroforestri yang menggabungkan pertanian dengan penghijauan.
- Pengelolaan Lahan Berkelanjutan: Menerapkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan yang memperhatikan keseimbangan antara produksi pertanian dan pelestarian lingkungan. Praktik-praktik ini termasuk rotasi tanaman, penggunaan pupuk organik, pengelolaan residu tanaman, pengendalian hama terpadu, dan penggunaan teknologi tepat guna. Pengelolaan lahan yang berkelanjutan dapat meningkatkan kesuburan tanah, mengurangi erosi, dan menjaga keberlanjutan produksi pertanian.
- Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat: Mengedukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan lahan dan air yang berkelanjutan. Melibatkan masyarakat dalam program-program pengelolaan lahan dan air, serta memberikan informasi tentang praktik-praktik yang dapat dilakukan untuk mencegah degradasi lahan dan mengatasi kekeringan.
- Kerjasama dan Kebijakan Terpadu: Membangun kerjasama antara pemerintah, masyarakat, sektor swasta, dan lembaga terkait lainnya dalam mengelola degradasi lahan dan kekeringan. Penting untuk mengembangkan kebijakan terpadu yang mengintegrasikan aspek pengelolaan lahan dan air, serta mendukung implementasi strategi pengelolaan yang holistik.
Selain itu, perlu diingat bahwa strategi pengelolaan degradasi lahan dan kekeringan harus disesuaikan dengan kondisi lokal, mempertimbangkan perbedaan geografis, iklim, dan tingkat kerentanan daerah tersebut.
Studi Kasus: Upaya Pengelolaan Degradasi Lahan dan Kekeringan di Indonesia
Pengelolaan degradasi lahan dan kekeringan di Indonesia adalah isu penting yang perlu diatasi untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kehidupan manusia. Pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai upaya dalam hal ini. Berikut adalah beberapa upaya yang dilakukan :
- Rehabilitasi Lahan : Pemerintah Indonesia telah melakukan program rehabilitasi lahan yang terdegradasi, terutama di daerah yang rentan terhadap kekeringan. Program ini melibatkan penanaman kembali vegetasi, pemulihan vegetasi asli, pengendalian erosi, dan pemulihan kualitas tanah. Pemerintah juga mendorong partisipasi masyarakat dan pihak swasta dalam upaya rehabilitasi lahan ini.
- Pengelolaan Air : Pengelolaan air yang efisien dan berkelanjutan sangat penting dalam menghadapi kekeringan. Pemerintah Indonesia telah melakukan investasi dalam infrastruktur pengelolaan air, seperti pembangunan waduk, irigasi, dan saluran pengairan. Selain itu, program penghematan air dan kampanye kesadaran publik juga dilakukan untuk mempromosikan penggunaan air yang bijaksana dan efisien.
- Pengendalian Deforestasi : Deforestasi adalah salah satu penyebab degradasi lahan dan kekeringan. Pemerintah Indonesia telah meningkatkan upaya dalam pengendalian deforestasi dengan memberlakukan moratorium izin baru untuk eksploitasi hutan dan meningkatkan penegakan hukum terhadap praktik ilegal seperti pembakaran hutan dan perambahan hutan.
- Penyuluhan dan Pendidikan : Pemerintah Indonesia juga telah mengadakan program penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan lahan yang berkelanjutan dan cara menghadapi kekeringan. Melalui program ini, masyarakat diberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan mengelola lahan dengan baik.
- Kerjasama Internasional : Indonesia juga berpartisipasi dalam kerjasama internasional untuk mengatasi degradasi lahan dan kekeringan. Pemerintah bekerja sama dengan negara-negara lain, organisasi internasional, dan lembaga penelitian untuk berbagi pengetahuan, teknologi, dan sumber daya dalam upaya mengelola lahan secara berkelanjutan.
Upaya ini adalah beberapa contoh dari banyak tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi degradasi lahan dan kekeringan sesuai dengan kasus yang sudah terjadi. Namun, tantangan yang kompleks membutuhkan kerjasama lintas sektor, partisipasi masyarakat yang lebih luas, dan upaya yang berkelanjutan untuk mencapai keberhasilan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mengatasi masalah ini.maka dari itu, untuk teriptanya upaya ini perlu dengan kesadaran diri dan partisipasi masyarakat tinggi.
Kesimpulan
Degradasi lahan memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan kehidupan manusia di Indonesia. Dampak-dampak tersebut meliputi erosi tanah, penurunan kualitas tanah, penurunan produktivitas pertanian, kerusakan ekosistem, dan meningkatnya risiko bencana alam seperti kekeringan dan banjir. Sehingga perlu adanya mitigasi yang harus dilakukan untuk mengurangi terjadinya hal tersebut. Beberapa penyebab utama degradasi lahan di Indonesia meliputi deforestasi, perambahan hutan, praktik pertanian yang tidak berkelanjutan seperti penebangan liar dan penggunaan pestisida berlebihan, serta perubahan iklim yang mempengaruhi pola curah hujan. Degradasi lahan juga erat kaitannya dengan fenomena El Nino. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan suhu udara dapat mengakibatkan bencana kekeringan. maka perlu adanya pengelolaan dan mitigasi yang harus dilakukan yaitu dengan melakukan rehabilitasi lahan, pengelolaan air, pengendalian deforestasi, penyuluhan dan pendidikan dan Kerjasama internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, A. 2003. Degradasi Tanah Pertanian Indonesia Tanggung Jawab Siapa?. Tabloid Sinar Tani, 11 Juni 2003.
Doni Andrasmoro dan Novita Sariani. 2023. Analisis Kajian Pendidikan Mitigasi Bencana Kekeringan pada Siswa Madrasah Aliyah Penpes Walisongo Kota Pontianak. Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia Vol 8 No. 2 Bulan Mei 2023 Page 211 – 221 p – ISSN : 2477-6254 e – ISSN : 2477 – 8427.
Elza Surmiani. 2016. Pemantauan dan Peringatan Dini Kekeringan Pertanian di Indonesia. Makalah Review. ISSN 1907-0799.
Kedeputian Bidang Klimatologi. 2023. Prospek El Nino 2023 dan Perkembangan Musim Kemarau. BMKG. 16 Juni 2023.